Title : Nada Yang Hilang
Author : Aisah Tri Cahya Aprilia
Inspired by : Rachmad Dwi Oktanto
Length type : series
POV : author
Part : 1
Cast :
·
Nisa
·
Fita
·
Mia
·
Aji a.k.a. Fian
Note : Sebenernya ini karya kedua setelah
vakum dari kegiatan tulis-menulis (tapi nulis PR dan sekolah masih kooog) tapi
berhubung karya pertamaku itu puisi dan aku hampir tiap hari nulis puisi, jadi
di periode baru ini mungkin cerita ini juga bisa dibilang yang pertama. Thanks
for Anto buat inspirasinya ya. Support to keep going, please ^_^ check these
‘freak sentences that tell you something’ out!
Tik tok tik tok
tik tok…
Waktu semakin absurd saja setelah
aku membaca tugas dari Pak Rahmad. Matematika. Pelajaran yang selalu berhasil
membuatku tertidur. Andai saja otakku seencer Mia si kalkulator berjalan, soal
semacam ini tak akan mengganggu moodku. Ah, pilihan terakhir: datang lebih pagi
dan menyalin tugas Mia.
Aku segera membereskan buku-buku dan
segala alat tulis yang bertebaran di kamarku. Menyalakan musik dengan sound
system yang bisa membuat seluruh rumah terbangun. Pukul 9 malam dan rumah ini
selalu sesepi ini. Pagi, siang, malam, semua orang selalu sibuk dengan hal aneh
yang disebut ‘meeting`. Ayah dan Bunda selalu pulang malam karena makhluk
bernama meeting itu dan langsung tidur saat mencapai rumah. Aku sendirian.
Sudahlah. Aku tidur saja..
***
Krrriiiiiiiiinggg……
Bel sekolah pagi ini membuatku tak bersemangat. Bagaimana tidak,
matematika ada di jam pertama dan Mia dikabarkan sakit. Aku sedikit merasa
bersalah karena lebih mempedulikan tugas matematika dibanding kesehatan teman
karibku itu. Oh, ini bencana. Pak Rahmad berjalan memasuki kelas..
“Selamat pagi
anak-anak”
“Selamat pagi,
Pak”
Pak Rahmad tampak tersenyum
sumringah. Wajahnya jadi tampak jauh lebih muda kalau begitu. Beliau bukan tipe
guru killer, tapi beliau tetap amat disiplin. Sejujurnya aku jadi sedikit
tenang melihat suasana hati beliau pagi ini. Ada kabar gembira apa? Apa beliau
baru saja menerima kenaikan gaji?
“Nah,
anak-anak.. Hari ini kita kedatangan murid baru dari Malang. Untuk itu, mungkin
lebih enak kalau kita berkenalan dulu dengan mbaknya ini. Hehehe.. Ayo, mbak.
Ayo masuk!”
Saat itu masuklah seorang perempuan
berambut keriting sebahu. Parasnya manis dan aku yakin dia beberapa sentimeter
lebih tinggi dari aku. Anak tersebut masuk dengan senyum dan mulai
memperkenalkan dirinya.
“Hai semua. Nama
saya Mufita Maulana Dewi, tapi panggil saja Fita. Saya pindahan dari SMA 5
Malang. Harapan saya, saya bisa belajar lebih semangat di Sidoarjo. Salam
kenal, mohon kerjasamanya ya.”
Semua anak ribut, terutama anak-anak
laki-laki. Mereka sibuk menanyakan hal-hal yang sangat tidak penting pada Fita.
Setelah sekitar 3 menit proses perkenalan, Pak Rahmad akhirnya mempersilahkan Fita
duduk di sebelahku untuk sementara karena Mia hari ini tidak masuk. Aku
berharap dengan adanya murid baru, Pak Rahmad akan melupakan tugas rumah yang
harus dikumpulkan hari ini. Meski sebenarnya, antara murid baru dengan tugas
rumah sama sekali tak meMiaki hubungan apapun.
“Mmmh.. hai,
aku Fita. Kamu Nisa, kan?”
Bagaimana dia tahu namaku? Bedge
namaku tertutup kerudung. Gadis manis ini ternyata menyeramkan, tapi kurasa dia
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Dan terlihat cerdas..
“Iya, aku Nisa.
Kamu kog tahu namaku?”
“Heheheh.. ya
tahu aja. Eh, ada PR ya?”
“Iya, tapi aku
belum ngerjain sih. Kamu juga tahu kalau ada PR? Wew.”
Aku berkata dengan sedikit
menutup-nutupi rasa was-was karena tidak mengerjakan tugas. Sial sekali hari
ini. Padahal tak sekalipun aku lalai dalam mengerjakan tugas selama ini.
“Loh? Ya udah,
kamu pake catatanku aja. Aku sudah selesai kog.”
Fita menyerahkan catatannya sambil
tersenyum ramah.
“Tapi.. tapi
kamu? Kamu kan udah ngerjain..”
“Halah, aku kan
murid baru. Kalau nggak ngerjakan juga nggak apa-apa kog”
Kurang dari 10 detik Pak Rahmad
sudah berdiri di sebelah mejaku.
“Mana tugasmu,
Nis? Nilai sempurna lagi atau tidak ya kali ini?”
Kata Pak Rahmad setengah menggoda.
“Mmm.. mungkin
Pak, ini tugasnya. Heheh..”
Aku berkata dengan gugup dan
menyerahkan buku catatan Miak Fita, berharap tidak ketahuan. Aku jadi merasa
bersalah karena selama ini nilai-nilaiku dalam pelajaran matematika selalu
bagus berkat Mia. Memang di pelajaran lain aku mendapat nilai bagus karena
hasil kerja kerasku sendiri, tapi aku mulai merasa bahwa nilai raporku tercemar
hanya karena nilai matematika yang tidak asli.
Pak Rahmad tersenyum melihat catatan
itu dan menaruhnya kembali di meja. Sementara beliau meneruskan berkeliling,
aku mulai penasaran dengan Fita. Siapa dia?
***
Bel pulang mulai berbunyi dan aku
sudah mulai akrab dengan Fita di hari pertama itu. Aku bermaksud mengajak Fita
untuk menjenguk Mia tapi dia bilang dia harus ke membeli titipan ibunya di
pasar. Fita berangkat lebih dulu, sambil melambaikan tangan dia keluar dari
gerbang sekolah. Setelah sedikit bercakap-cakap dengan beberapa teman kelas,
aku segera menuju rumah Mia.
Ditengah perjalanan aku mendapati Mia
duduk di bangku alun-alun. Bukankah dia bilang dia harus ke pasar? Pasar sudah
jauh terlewat dari sini. Dia tampak murung. Berbeda 180 derajat dari sikapnya
di sekolah tadi. Sebenarnya aku ingin menghampirinya untuk sekedar bertanya
apakah dia baik-baik saja, tapi akhirnya aku hanya memandang heran tanpa
sepengetahuannya, dan tetap meneruskan laju motorku ke rumah Mia.
Ting..tong..
“Eh, Nis..
nggak bilang kalo mau kesini?”
“Kan aku mau jenguk
kamu. Heheh..”
“Mau jenguk apa
mau curhat nih?”
Kata Mia sambil tertawa meledek. Mia
selalu tahu gelagatku kalau ingin menceritakan sesuatu. Aku memang ingin
menceritakan kesialanku hari ini, dan murid baru itu. Tentang keanehannya tahu
segala sesuatu, dan sikapnya yang berubah muram di alun-alun. Kawan, ternyata
tak sekali ini aku melihatnya muram di alun-alun, aku dan Mia selalu pulang
bersama karena rumah kami satu desa, dan setiap kali pulang kami selalu melihat
Fita muram, bahkan menangis di alun-alun selama satu minggu sejak kami mengenalnya.
***
“Terus kita
tanya gitu ke dia? Ah, dia aja kalo disinggung soal pribadinya mesti langsung
mengalihkan topik. Baik sih dia, tapi misterius gitu.”
“Terus harus
gimana dong, Mi? Aku juga kasihan lihat dia sedih, dan aku tahu rasanya pasti
ngeri kalau kita harus menahan sakit dan masalah itu sendiri. Dia kan baru
disini.”
Aku dan Mia terus berusaha
memecahkan misteri Fita. Kami ingin membantu, tapi Fita bahkan tak pernah mau
bercerita apapun tentang dirinya sendiri. Setelah sekian lama aku dan Mia
berdebat kurang kerjaan, akhirnya kami memutuskan untuk mengikutinya sepunlang
sekolah. Ah, ini mungkin akan lama. Dan tepat seperti dugaanku, memang lama dan
menjemukan.
Aku dan Mia telah menghabiskan 3
bungkus es dawet dalam waktu 2 jam yang menjemukan. Kami hanya melihat Fita
duduk disana dan memegang sebuah buku bersampul tebal berwarna hijau muda.
Untuk beberapa saat kami mulai bosan. Dan Mia mulai memutuskan untuk…
“Ayo pulang,
Nis. Ayo ayo…”
Mia mulai merengek-rengek. Anak ini tak
bisa terlalu lama kepanasan, dan ini adalah akibat dari ke-kepo-an kami. Aku
tidak mungkin tidak mengiyakan Mia yang mulai kelejotan mirip ikan, tapi saat kami
berdiri, Fita juga berdiri dan segera berlari ke arah belakang alun-alun.
“Mi, kamu
beneran pulang atau..”
“Buruan ikutin,
Nis!”
Mia dengan anehnya kembali
bersemangat dan menyeretku mengikuti langkah cepat Fita dengan hati-hati.
Sekitar 50 meter dari situ, ada sebuah gang kecil yang dimasui Fita. Hanya ada
satu-dua rumah di kawasan itu. Rumah-rumah itu amat sederhana, salah satu rumah
menyita perhatianku. Rumah itu asri sekali. Ingin rasanya aku masuk ke rumah
itu karena siang ini matahari teriknya minta ampun. Aku dan Mia terus
mengendap-endap dan bersembunyi di balik sebuah gerobak sampah. Aduh, baunya.
“Assalamualaikum..”
Kami melihat Fita mengetuk pintu
rumah kecil di sebelah rumah asri itu. Aku terkejut melihat seorang lelaki muda
membuka pintu dengan satu tangannya. Tangan kirinya. Aku tak melihat tangan
kanannya menempel dimanapun. Astaga!!
“Aih!”
Mia menutup mulutnya sendiri yang
hampir membuat kami ketahuan. Kami tak bisa masuk tentunya. Dan kami tak akan
mendapatkan apa-apa bila terus menerus berada di belakang gerobak sampah yang
bau ini. Kami memutuskan pulang. Cukup pengintaian kami hari ini, hanya
membuahkan satu informasi: Fita tinggal bersama lelaki itu. Lelaki tanpa tangan
kanan itu..
***
Keesokan harinya aku melihat Fita
berboncengan dengan Pak Rahmad menuju sekolah. Aku menebak, jangan-jangan Fita
adalah anak Pak Rahmad, dan laki-laki kemarin mungkin pembantunya. Aku
mengabarkan hal ini pada Mia. Semua yang aku ceritakan hanya di balas dengan
kata “hah?” “oh” “hmm”. Menjengkelkan! Aku tak suka mendengar jawaban yang
benar-benar meremehkan itu. Lagi pula, suasana hati Mia sedang cerah. Biasanya
jawaban seperti itu hanya dilontarkan saat dia badmood.
“Kamu kenapa
sih, Mi? Dari tadi jawabnya gitu terus.”
“Kamu tahu, aku
nggak bener-bener percaya tebakanmu.”
Mia mengedipkan mata dan mengejekku.
“Kenapa?”
“Soalnya
kemarin aku tanya Pak Rahmad tentang Fita. Kata Pak Rahmad, Fita itu
keponakannya. Dia yatim piatu karena kecelakaan mobil di Malang. Itulah
sebabnya dia pindah kesini, dia ingin melupakan kejadian itu.”
“Terus,
laki-laki aneh kemarin siapa dong?”
“Itu kakakku!”
Tiba-tiba Fita muncul dengan berurai
air mata. Aku rasa dia mendengar semua percakapan kita. Fita langsung duduk di
sebelahku dan menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Aku mencoba
melupakan kejadian itu dan aku beruntung aku masih bisa tersenyum. Setiap hari
aku merindukan keluargaku. Ayah, ibu, dan adikku, tapi aku tahu mereka takkan
kembali. Hal yang ingin kulakukan saat ini adalah mengembalikan semangatnya
yang hilang.”
“Siapa
maksudmu?”
“Tentu saja
kakakku! Aku ingin melihat senyumnya lagi. Tapi dia seolah tenggelam dengan
dunianya sendiri semenjak kecelakaan itu. Dia tak hanya kehilangan ayah, ibu,
dan adik, dia kehilangan tangan kanannya.”
“Tapi kau tak
kehilangan temen-temanmu,kan? Kami ingin membantu. Kalau bisa sih..”
Kataku disambut anggukan semangat Mia.
Perlahan Fita mengusap air matanya dan memandang kami.
“Tapi kalian
tak mengenal Kak Aji.”
Oh, jadi namanya Aji..
“Ya kenalin
dong. Nanti kita kerumahmu yaa..”
Perkataan Mia langsung disambut
dengan anggukan ceria Fita. Dia kembali tersenyum pada kami dan tampak sangat
berharap. Semoga aku dan Mia bisa
membantunya.
***
Keesokan harinya, kami bertiga
menuju rumah Fita sepulang sekolah. Aku membayangkan bagaimana reaksi kakak
Fita bila ada orang asing di rumahnya. Fita mengatakan bahwa kakaknya tak bisa menemui
siapa pun selain Fita. Aji akan berteriak-teriak histeris dan bersembunyi. Aku ingin
segera bertemu dengannya. Ditengah lamunanku, aku tiba-tiba teringat teman
kecilku yang bernama Raka. Wajahnya mirip sekali dengan Fita. Dulu aku sempat
menaruh hati padanya. Dia pindah ke Surabaya dan aku menangis karenanya. Tapi
Ibu bersikeras membujuk bahwa itu hanya cinta monyet. Jadi aku melupakannya.
Kami bertiga tiba di depan rumah.
Tepat seperti apa yang dikatakan Fita, Aji langsung masuk kamar dan meraung-raung
tak jelas. Fita berusaha membujuknya untuk keluar, sia-sia. Aku memberanikan
diri untuk semakin mendekat dan mengetuk pintu itu.
“Kak Aji..
maaf, aku nggak bermaksud aneh-aneh kog. Aku cuma temannya Fita. Namaku…”
Sejenak aku terdiam. Aku mendengar
sesuatu dan berusaha memastikan apa itu.
“Kak?”
Dan suara itu terdengar makin keras.
Kak Aji menangis. Aku kembali mengetuk pintunya dan memutar gagangnya. Terbuka!
“Kak, ayolah.
Aku mohon kau bangun! Bangun dari keterpurukanmu dan terima semua ini. Aku
sendirian, Kak. Aku merasa sepi!”
Fita mulai tak tahan. Aku tahu dia
berusaha untuk tidak menangis, tapi toh air matanya tetap meleleh. Ini siang
yang panas, otakku memahami itu karena matahari memang amat terik dan aku
berkeringat. Tapi hatiku dingin. Aku merasakan pedih melihat rumah ini. Aku tak
tahan memikirkan bagaimana Fita melewati hari demi hari sendirian. Memikirkan
fakta bahwa Fita melewati setiap kenangan yang juga sendirian. Aku merasakan
hal yang sama dirumahku. Mungkin perbedaan terletak pada kedua orang tuaku yang
masih hidup, tapi tak pernah ada untukku.
***
“Ayah! Ayah!
Aku juara satu ya? Iya kan? Iya kan?”
Usiaku masih 8 tahun ketika itu,
kelas 1 SD. Pada rapor semester pertama aku mendapat peringkat pertama di
kelas. Orang tua muridlah yang bertugas mengambil rapor para siswa. Ayah ku
yang datang kali ini. Beliau datang terlambat karena pagi-pagi sekali harus ke
kantor untuk alasan yang tak ku tahu.
“Nanti Ayah
datang jam 8 ya?”
“Iya. Ayah
pergi dulu ya..”
Itu
kata-kata Ayah pada pagi-pagi buta saat aku terbangun karena mendengar suara
mesin mobil Ayah. Aku langsung berlari dan mengucapkan hal itu. Ayah pun
berlalu dan aku masuk kamar. Di sekolah, aku menunggu Ayah yang tak kunjung datang.
Saat itu oang tua masing-masing siswa sudah mulai menerima hasil belajar
anaknya selama 6 bulan di sekolah.
Nama
lengkapku Annisa Lutfiana. Aku tak ingat berapa nomor absenku dulu. Yang jelas,
dengan nama itu aku berada di nomor absen atas, antara 1 sampai 5. Aku mulai
menangis karena Ayah tak kunjung datang mengambil rapor. Guru-guru menenangkanku,
mengatakan bahwa Ayah masih memarkir mobilnya. Tapi tak mungkin memarkir mobil
selama setengah jam. Aku diam. Ingin rasanya menangis lagi karena bangku yang
tadinya diduduki orang tua siswa sekarang mulai kosong tersisa kurang dari 10
orang yang masih belum menerima panggilan dari wali kelas. Dan aku tetap diam
di ujung bangku aula itu sampai jam sepuluh siang, saat ayahku datang.
Aku
langsung menghambur ke arah beliau dan melihat beliau mengambil rapor sambil
bercakap-cakap. Dari percakapan tersebut, aku hanya mendengar kalimat “Iya ,
Pak. Selamat sekali lagi atas prestasi Nisa yang juara satu ini” dan langsung
melompat-lompat senang.
“Ayah! Ayah!
Aku juara satu ya? Iya kan? Iya kan?”
“Iya, Nak. Ayah
kembali ke kantor dulu ya?”
“Yah, tapi nanti..”
“Udahlah, Nis.
Ayah masih ada kerjaan. Kamu pulang naik angkot ya, Ayah langsung ke kantor”
Ayah berlalu sambil membawa raporku.
Dan aku hanya bisa melambaikan tangan sambil tersenyum. Berharap Ayah memberiku
sebuah hadiah kecil atas keberhasilanku, atau paling tidak, cukup sebuah ucapan
bangga seorang Ayah pada anaknya. Itu saja sudah membuatku senang. Seharusnya..
***
Kami kembali mencoba ke rumah Fita
minggu ini. Percobaan datang ke rumahnya minggu kemarin hanya berbuah tangisan
tak henti-henti dari Kak Aji. Mia sudah berulang kali berkata “aku takut” tapi
dia tak pernah absen memaksa untuk kembali menjenguk Kak Aji. Semangatnya yang
aneh menggelitik otakku untuk bertanya seperti ini:
“Apaan sih dari
tadi kebelet pulang mlulu? Naksir sama kakaknya Fita ya?”
“Nisa!”
Dan pertanyaan itu disambut tawa
Fita dan pukulan-pukulan kecil Mia yang mendarat di tubuhku. Karena Mia terus
menerus berkicau seperti itu, aku dan Fita tak tahan dan segera menuju
rumah Fita setelah bel pulang berbunyi. Rumah itu seperti biasa, sepi.
Tok..tok.tok..
Fita mengetuk pintu dan kak Aji
membuka lebar pintu itu.
“Hai kak!”
Kak Aji hampir saja bersembunyi
ketika ia melihat Mia yang menodorkan sebuah kotak berwarna hitam. Kak Aji
memandang kotak itu lama. Mungkin dia bingung kotak apa itu, sama bingungnya
dengan aku dan Fita yang melihat respon Kak Aji yang mendadak diam karena kotak
yang dibawa Mia.
“Coba buka deh.
Nggak seberapa bagus sih, tapi aku buat sendiri.”
Mia menaruh kotak kecil itu di
tangan Kak Aji.
“Mendingan kita
semua masuk dulu.”
Fita menggiring kami masuk. Aku
mulai heran—dan juga senang—melihat Kak Aji yang berjalan mengikuti kami sambil
tetap menatap lekat kotak itu. Mia menuntun Kak Aji untuk duduk dan membantunya
membuka kotak.
“Aku lihat foto
itu minggu kemarin, aku pikir kamu bisa main piano sungguhan. Aku nggak bisa
kasih piano sungguhan, jadi aku beli kotak ini untuk mengingatkanmu lagi
tentang nada-nada kehidupan yang dulu pernah kamu mainkan. Ada instrument piano
yang bisa kamu dengarkan, Kak. Juga ada rekaman instrument gitar, itu yang aku
buat sendiri. Aku nggak bisa main piano. Maaf ya.”
Foto yang ditunjuk Mia itu
menggambarkan seorang anak laki-laki yang tersenyum di depan sebuah piano.
Jemarinya tampak menyentuh tuts-tuts piano dan dia tampak cerah. Sangat
bahagia. Berbeda dengan laki-laki yang ada di foto, Kak Aji tampak lebih kurus
dan tampak sangat tertekan. Tak tampak sinar ceria di wajahnya. Tapi semua
orang yang melihat pasti tahu, yang di foto adalah benar-benar Kak Aji.
Mia membuka kotak hitam itu, isinya
adalah benda berbentuk lingkaran berwarna merah dengan motif anyaman. Benda itu
mempunyai beberapa tombol di dalamnya. Kak Aji menekan salah satu tombol dan
instrument piano yang entah siapa penciptanya itu mengalir lembut. Dalam hati
aku berjanji aku akan bermain piano untuk seseorang suatu hari nanti. Selama
ini aku bisa bermain piano, tapi aku memainkannya hanya untuk mengusir sepi.
Tak bermakna apapun.
Instrument itu berhenti dan
mengalunlah instrument yang lain, terus seperti itu dalam 1 atau 2 jam kedepan
sampai instrument-instrumen dalam kotak itu habis. Kami terlingkupi oleh
keheningan sesaat, kami hanyut dalam pikiran kami masing-masing. dan saat
instrumennya habis, untuk yang pertama kali Kak Aji berani menatap kami dan
berkata:
“Aji.”
“Apa?”
Aku bingung, bukankah itu namanya?
“Aji”
“Cukup, Kak.
Dia tak akan dating”
“Ngomong apa
sih ini? Aku nggak ngerti.”
Mia masuk dalam lingkaran
kebingungan yang sama denganku.
“Aji itu nama
almarhum Papa. Hanya itu yang bisa diucapkan kakakku. Nama sebenarnya adalah
Fian.”
“Lalu kenapa
kamu memanggilnya Aji?”
Aku semakin bingung.
“Karena sama
seperti Kak Fian, aku juga merindukan sosok Papa. Aku juga kangen Mama, tapi
Kak Fian terus menerus mengucapkan nama Papa. Aku memutuskan untuk memanggilnya
dengan nama Papa, untuk mengobati luka ku sendiri.”
***
Kami berkunjung ke rumah Fita hampir
setiap hari. Waktunya pun mulai beragam. Terkadang pulang sekolah, sore hari,
atau pagi-pagi saat libur sekolah. Kak Aji yang sekarang kami panggil dengan
benar, Kak Fian, mulai menerima kedatangan kami. Dia memang masih tak mau
menemui kami, hanya sesekali dia keluar kamar untuk ke kamar mandi. Setidaknya
kami tak lagi terusir dengan tangisan histerisnya. Sikapnya juga mulai tenang
dan normal. Hanya dia masih diam, tak pernah berbicara sepatah kata pun kecuali
kata “Aji”. Dan aku sempat melihat sebuah foto keluarga Fita di ruang tamu. Di
foto itu ada orang tua Fita, Kak Fian, Fita, dan seorang anak lelaki yang
kelihatannya seusia dengan Fita. Mungkin itu adiknya yang pernah ia bilang,
walau aku tak yakin karena wajah mereka tampak seusia. Aku mendekati foto itu
dan mengamati foto keluarga yang tampak bahagia itu.
“Oh!”
Aku terkesiap kaget melihatnya.
Otakku mempunyai ingatan tentang anak lelaki itu. Aku mengenalnya. Amat sangat
mengenalnya. Tapi sedetik kemudian Fita menyeretku keluar, mengajakku ke
supermarket untuk membeli Roti. Entah Fita menyadari suasana hatiku yang kacau
atau tidak. Aku tetap berusaha tersenyum. Hatiku masih menyimpan beribu
pertanyaan baru sekaligus membuka luka lama. Antara fakta dan rasa tak ingin
percaya. Benarkah lelaki di foto itu…Raka?
To be continued…